Indonesia Joining Forces (IJF) gelar  “Temu Anak Indonesia 2025: Inklusif, Penuh Makna, dan Riang Gembira”

Indonesia Joining Forces (IJF) gelar “Temu Anak Indonesia 2025: Inklusif, Penuh Makna, dan Riang Gembira”

Kekerasan terhadap Anak dengan Disabilitas Banyak Terjadi di Ruang Publik, IJF Desak Aksi Nyata

Industry.co.id

Nina Karlita Nasional

Jumat, 15 Agustus 2025 23:20 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta – Kekerasan terhadap anak dengan disabilitas masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Temuan terbaru Indonesia Joining Forces (IJF) mengungkap bahwa 51,3% kekerasan terhadap anak dengan disabilitas terjadi di ruang publik, sementara 9 dari 10 orang dekat mereka mengaku pernah menyaksikan kekerasan tersebut.

Data ini disampaikan dalam acara “Temu Anak Indonesia 2025: Inklusif, Penuh Makna, dan Riang Gembira” yang digelar di Jakarta Pusat sebagai bagian dari peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025. Acara ini menjadi momentum penting untuk menyuarakan pengalaman anak dengan disabilitas sekaligus mendorong percepatan perlindungan mereka di tingkat nasional dan regional ASEAN.

Survei kuantitatif dan studi kualitatif yang dilakukan oleh Forum Anak IJF menemukan bahwa kekerasan verbal dan psikis/emosi adalah bentuk kekerasan yang paling banyak dialami anak dengan disabilitas. Selain itu, 3 dari 10 anak disabilitas mengaku pernah mengalami bahaya atau kekerasan fisik.

“Bagi IJF, inklusif bukan sekadar slogan. Kami ingin menghadirkan perspektif langsung dari anak-anak dengan disabilitas serta orang-orang di sekitar mereka,” ujar Angelina Theodora, Ketua Komite IJF 2024–2025 sekaligus Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia.

Menurut Susanti, S.Sos., M.AP, Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), kasus kekerasan terhadap anak masih seperti fenomena gunung es. Ia menegaskan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan adil.

Harapan serupa disampaikan oleh Zakiya, anak penyandang disabilitas dari Jakarta Timur. “Kami tiga kali lebih rentan mengalami kekerasan. Kami juga berhak merasakan rasa aman. Semoga pemerintah bisa merespon lebih cepat,” ujarnya.

Perwakilan ASEAN Commission on the Protection of the Rights of Women and Children (ACWC), Yanti Kusumawardhani, menilai masukan dari anak sangat berharga untuk rencana aksi regional penghapusan kekerasan terhadap anak.

“Anak-anak adalah calon pemimpin bangsa dan ASEAN. Mendengar dan mengakomodasi pendapat mereka adalah langkah penting,” tegasnya.

Acara ini dihadiri lebih dari 80 anak dari berbagai daerah, termasuk anak penyandang disabilitas, Forum Anak Indonesia, komunitas disabilitas, dan sekolah luar biasa (SLB). Selain sesi diskusi, mereka juga mengikuti berbagai booth edukatif dan permainan yang mengangkat isu hak anak, advokasi, dan alat belajar untuk anak disabilitas netra.

Komentar