President Club Business Forum

President Club Business Forum "Meraih Peluang Bisnis di Era Kebijakan Tariff Trump"

Diskusi President Club Business Forum: Hadapi Era Kebijakan Tarif Trump, Peluang dan Tantangan Bisnis Indonesia

Industry.co.id

Hariyanto Industri

Jumat, 30 Mei 2025 09:38 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - President Club Business Forum bersama Kementerian Investasi/ BKPM, Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia,  Jababeka menggelar diskusi dengan tema ”Meraih Peluang Bisnis di Era Kebijakan Tariff Trump” yang dilaksanakan di President Lounge, Jakarta pada Rabu (28/5/2025).

Diskusi yang diinisiasi CEO Jababeka Group S.D. Darmono tersebut menghadirkan Deputi Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi Nurul Ichwan, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia, Benny Sutrisno. Bertindak selaku moderator adalah wartawan senior Harian Kompas Budiman Tanuredjo. 

Dalam sambutannya, S.D. Darmono menyatakan pentingnya persamaan persepsi mengenai tindakan sepihak yang dilakukan oleh negara adidaya terhadap negara lain dan dampaknya terhadap Indonesia.

"Tindakan sepihak yang dilakukan Presiden AS Donald Trump tentang tariff telah menghentak dunia. Pertanyaannya, apakah hal ini membuat kita semakin berpikir sektoral atau sendiri-sendiri dalam menanggapi masalah tersebut," kata S.D. Darmono. 

Darmono mengajak Pemerintah, kalangan pengusaha, dan akademisi untuk berpikir bersama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Juga diharapkan agar diskusi ini menginspirasi kalangan pengusaha dan pembuat kebijakan publik.

"Mengenai perang dagang antara AS dengan China, kita melihatnya tidak lagi mencemaskan seperti sebelumnya. Hal ini mengingat AS dan China telah menurunkan tarif impor, meski tidak sama besaran persentasenya antar kedua belah pihak. Tapi hal itu menandakan sudah adanya kompromi," kata Nurul Ichwan. 

Di lain pihak, menurut Nurul Ichwan, Indonesia telah menginisiasi pertemuan masing-masing dengan AS dan China. Indonesia dalam negosiasinya dengan AS juga akan membeli komoditi pangan AS dan ditanggapi dengan positif. "Jadi, kita hanya shifting komoditas yang dibutuhkan dari negara lain ke AS," ujarnya. 

"Indonesia lebih advance dari negara Asia Tenggara karena kita menawarkan yang sejalan dengan keinginan mereka, salah satunya reciprocal tariff," lanjut Nurul Ichwan. 

Menurutnya, Indonesia perlu melihat comparative advantage dari kenaikan tarif ini. Peluang RI untuk take over tarif cukup besar, mengingat Vietnam dikenakan tariff lebih tinggi (46 persen) sedangkan Indonesia (32 persen), dan Thailand 36 persen.

Sementara itu, dirinya juga menyebut bahwa komoditas RI yang terdampak adalah tekstil, alas kaki dan elektronik. Namun, Ia mengatakan, Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor komoditas penting lainnya, yaitu emas batangan, kopi dan energi.

Pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa neraca perdagangan juga tetap dan risiko kenaikan tarif AS terus diantisipasi dengan beberapa langkah strategis dan membuka peluang bagi pasar baru. Yaitu negosiasi untuk pengurangan tarif terutama melalui dengan deregulasi, dan mengoptimalkan potensi pengalihan perdagangan.

"Indonesia memiliki peluang besar dalam sektor baterai kendaraan listrik (EV). Dengan dukungan hilirisasi dan potensi sumber daya, sektor ini bisa menjadi pintu masuk memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global yang terdampak perang tarif," ungkap Nurul Ichwan. 

Dalam kesempatan yang sama, Benny Sutrisno selaku Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia menyatakan bahwa perang tarif antara Amerika Serikat dengan China sudah menurunkan besaran tarif, tapi belum tahu kapan selesainya. 

Dalam situasi ini, koordinasi lintas lembaga seperti Kementerian Investasi dan para duta besar menjadi sangat krusial. Mereka berperan dalam diplomasi untuk mempercepat penurunan tarif serta menjembatani kerja sama antara pengusaha lokal dan mitra internasional.

"Pemerintah Indonesia diharapkan mengambil langkah aktif untuk menyeimbangkan perdagangan dengan Amerika Serikat. Salah satu strategi yang diusulkan adalah peningkatan impor dari AS untuk produk-produk strategis seperti gas, minyak bumi, dan gandum," kata Benny. 

Menurutnya, penyesuaian ini tak hanya untuk menjaga relasi bilateral, tetapi juga memberi sinyal positif dalam menjaga stabilitas neraca perdagangan dan memperluas porto-folio komoditas secara taktis.

"Di tengah tekanan eksternal akibat perang tarif, industri dalam negeri memerlukan dukungan yang lebih terarah dan terstruktur. Pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif fiskal seperti pengurangan pajak dan subsidi kepada eksportir yang terdampak, terutama di sektor-sektor padat karya," ujarnya. 

Selain itu, lanjut Benny, akselerasi otomatisasi proses industri, penguatan kapasitas inovasi, dan peningkatan kualitas produk harus menjadi prioritas. "Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) juga tidak boleh luput dari perhatian. Mereka harus dibekali akses ke pasar ekspor yang lebih luas dan didukung dengan pembiayaan yang inklusif dan berkelanjutan," ungkap Benny 

Dalam sesi diskusi banyak pandangan yang beragam terhadap langkah yang bisa dilakukan Pemerintah. Mantan Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN Bagas Hapsoro menyatakan bahwa Indonesia harus memanfaatkan posisinya di level regional dan multilateral. Dalam menghadapi kebijakan Reciprocal Tariff Trump, Indonesia memiliki beberapa strategi untuk meningkatkan daya saingnya dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Berikut beberapa perbandingan kompetitivitas Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya: 

Tarif Timbal Balik: 

Indonesia dikenakan tarif 32 persen, lebih tinggi dari Malaysia (24 persen) dan Filipina (17 persen), namun lebih rendah dari Thailand (36 persen). Sementara itu, Kamboja (49 persen), Laos (48 persen), Vietnam (46 persen), dan Myanmar (44 persen) memiliki tarif lebih tinggi.

Tiga Strategi Menghadapi Tarif

Pemerintah Indonesia menempuh beberapa strategi untuk menghadapi kebijakan tarif ini, seperti:

1. Solidaritas Regional ASEAN: Indonesia mendukung Malaysia sebagai Ketua ASEAN untuk memulai dialog regional ASEAN dengan AS.

2. Diversifikasi Pasar Ekspor: Pemerintah Indonesia mempercepat penyelesaian 16 perjanjian perdagangan bebas (FTA) untuk memperluas akses pasar dan memperkuat hubungan perdagangan internasional.

3. Peluang Meningkatkan persaingan: Indonesia dapat meningkatkan kompetitifnya dengan memanfaatkan peluang-peluang strategis, seperti relokasi Industri: Indonesia dapat menarik investasi di sektor manufaktur, khususnya elektronik dan otomotif, dengan mempercepat reformasi birokrasi dan regulasi.

Namun yang tidak kalah pentingnya, menurut Bagas Hapsoro, Indonesia dapat melakukan beberapa langkah tambahan, yaitu Diplomasi Perdagangan.

"Indonesia berencana menghidupkan kembali forum kerja sama bilateral dengan AS melalui Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dan Diversifikasi Pasar Ekspor: Indonesia dapat membuka pasar baru di Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah dengan memperkuat diplomasi ekonomi," ujarnya. 

Secara umum, forum yang dipandu Budiman Tanaredjo berkesimpulan bahwa di tengah perubahan kebijakan global, pengusaha Indonesia harus bersikap aktif, membangun jejaring yang kuat, serta jeli membaca peluang yang tercipta dari ketidakpastian. Pemerintah dan pelaku usaha harus terus bersinergi untuk memastikan posisi Indonesia tetap kompetitif dalam peta perdagangan internasional, terutama di era kebijakan tarif Trump.

Komentar