Diskusi 'Menakar Efektivitas Insentif Otomotif' yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin)

Diskusi 'Menakar Efektivitas Insentif Otomotif' yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin)

Penjualan Lesu, Pemerintah Bakal Segera Evaluasi Insentif Mobil Listrik

Industry.co.id

Ridwan Industri

Selasa, 20 Mei 2025 09:10 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta – Pemerintah akan mengevaluasi insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) pada akhir tahu 2025, seiring masih rendahnya penjualan mobil listrik di Tanah Air.

Per April 2025, penjualan BEV baru mencapai 23 ribu unit atau jika disetahunkan baru mencapai 63 ribu unit. Jumlah ini masih jauh di bawah target kuantitatif produksi BEV dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022 yang mencapai 400 ribu unit. Pada tahun 2030, produksi BEV ditergetkan mencapai 600 ribu unit, dan pada tahun 2040 ditergetkan mencapai 1 juta unit.

“Melihat penjualan mobil listrik beberapa tahun belakangan ini yang menunjukkan kondisi stagnan, kami memandang memang perlu ada evaluasi bersama pemangku kepentingan lainnya,” kata Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Mahardi Tunggul Wicaksono dalam diskusi “Menakar Efektivitas Insentif Otomotif,” yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (19/2025).

Selai itu, insentif BEV skema completely built up (CBU) untuk tes pasar juga akan berakhir pada akhir tahun ini, sesuai Permenperin 6/2023. Dengan demikian, produsen BEV harus mulai memproduksi di dalam negeri pada tahun 2026 untuk mendapatkan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) 0%, dan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) 10%, sehingga tarif PPN yang harus dibayar hanya 2%.

Saat ini, BEV CBU untuk tes pasar medapatkan insentif bea masuk (BM) 0% dari seharusnya 50%, PPnBM 0% dari seharusnya 15%. Total pajak yang dibayar ke pemerintah pusat BEV CBY hanya 12% dari seharusnya 77%, syaratnya pemain BEV harus membuka bank garansi dan komitmen produksin1;1 dengan spesifikasi minimal sama. Namun, relaksasi ini tidak akan berlaku lagi pada tahun 2026.

Pemerintah juga mengkaji pemberian insentif untuk produk otomotif berteknologi lain, seperti hybrid electric vehicle (HEV) hingga hidrogen. Perluasan insentif ini diperlukan untuk menggairahkan pasar mobil yang turun dalam dua tahun terakhir.

Selain itu, pemerintah perlu mempertimbangkan lagi insentif PPnBM-DTP mobil rakitan lokal bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE), seperti yang dilakukan pada 2021 untuk merespons pandemi Covid-19. Pada tahun itu, penjualan mobil bangkit menjadi 887 ribu unit dari tahun 2020 sebanyak 578 ribu unit. 

Lebih lannut, Tunggul menegaskan, pemerintah terus mengakselerasi transformasi industri otomotif nasional menuju era elektrifikasi melalui kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal. Kemenperin telah menerbitkan berbagai regulasi strategis untuk mendukung target net zero emission (NZE) nasional. 

Sebagai bentuk dukungan konkret, dia mengatakan, pemerintah telah menyiapkan program insentif perpajakan bagi perusahaan yang menunjukkan komitmen investasi di Indonesia. Bentuk insentif tersebut meliputi pembebasan BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CBU, insentif BM dan PPnBM untuk kendaraan listrik CKD (completely knocked down) dengan TKDN yang masih berada di bawah ketentuan roadmap, guna mendorong percepatan realisasi investasi sambil menjaga kelangsungan industri lokal.

Selain kendaraan listrik, industri otomotif yang memproduksi kendaraan hybrid dan tergabung dalam program low carbon emission vehicle (LCEV) juga mendapatkan insentif PPnBM DTP sebesar 3%, sebagai bentuk dukungan terhadap transisi bertahap menuju teknologi kendaraan yang lebih bersih.

“Insentif-insentif ini merupakan stimulus penting dalam membangun ekosistem kendaraan listrik nasional yang terintegrasi, dari hulu ke hilir. Kami percaya, dengan sinergi regulasi, insentif, dan investasi, Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam industri kendaraan masa depan,” terangnya.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mendukung evaluasi insentif otomotif demi memajukan industri nasional. Menurut Gaiindo, pemberian insentif berupa keringana pajak mampu menjadi obat mujarab untuk menaikkan penjualan mobil dalam jangka pendek.

Selain itu, Gaikindo juga menyerukan evaluasi kebijakan insentif otomotif yang bisa berdampak jangka panjang dan memastikan target yang dicanangkan tercapai. Sebagai contoh, target produksi BEV pada 2030 mencapai 600 ribu unit. 

“Semua pihak harus memastikan BEV diproduksi di dalam negeri, bahkan kalau bisa diekspor. Artinya, Indonesia menjadi basis produksi BEV domestik dan ekspor,” kata Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara.

Hal tak kalah penting, tegasnya, mobil hybrid juga menjadi bagian mobil elektrifikasi. Mobil ICE tidak bisa dikesampingkan, lantaran masih menjadi pilar industri mobil. Pun dengan LCGC yang mengeluarkan emisi rendah dengan harga terjangkau. 

“Intinya, otomotif membutuhkan kebijakan long term,” ungkap dia.  

Dia menilai, Indonesia jangan hanya fokus ke satu teknologi. Artinya, pemerintah jangan menutup mata ke mobil hybrid, yang kini juga dilirik di China. Sebab, pada prinsipnya, teknologi otomotif berkembang cepat, sehingga kebijakan harus fleksibel dan bermanfaat. 

Sejauh ini, dia menilai, mobil elektrifikasi baru memakan pasar ICE dan LCGC, belum menciptakan pasar baru. Pada titik ini, insentif ke ICE dan LCGC bisa menambah volume pasar hingga 3 juta unit. Kalau ini tercapai, tambah Kukuh, para pemain akan menambah kapasitas pabrik, baik melalui perluasan atau pembangunan fasilitas baru. Ini akan menyerap tenaga kerja, sehingga positif bagi ekonomi. 

“Kalau otomotif menambah satu tenaga kerja, efeknya itu untuk dua orang. Jadi, efek pengungkitnya luar biasa. Otomotif adalah jembatan untuk memperkuat manfuaktur.  Jangan sampai manufaktur layu sebelum berkembang, karena kita punya potensi pasar 3 juta unit. Jadi, perluasan insentif otomotif diperlukan,” papar dia.  

Sementara itu, Peneliti LPEM UI, Riyanto mengatakan, pemberian insentif berkorelasi kuat dengan penjualan. Contohnya, dengan model regresi, penjualan BEV yang mendapatkan insentif 57% lebih tinggi dibandingkan yang tidak. 

Oleh sebab itu, dia mengatakan, waktunya pemerintah memperluas insentif pajak, seperti PPN DTP ke mobil ICE, LCGC, hingga hybrid, dengan patokan emisi. Sebab, faktanya, emisi BEV berdasarkan metode well to wheel tidak lebih rendah dari hybrid. 

“Saya yakin efek insentif LCGC, HEV, dan ICE lebih besar ke ekonomi dibandingkan BEV,” kata Riyanto.

Selain itu, pemerintah juga perlu membuat kajian untuk menemukan tarif pajak ideal dari sisi industri dan negara. Intinya, jangan sampai industri dan masyarakat terbebani pajak yang kini 40% lebih. Tarif ini perlu dikurangi.

Dia menilai, mestinya pemerintah tak perlu takut rugi ketika memberikan pajak ke industri mobil. Sebab, dampak ekonomi insentif ini sangat besar. 

Hitungan Riyanto, pemberian insentif PPnBM 0% dapat menyumbangkan PDB 0,8% dan tambahan tenega kerja di otomotif 23 ribu dan dalam perekonomian (multiplier) 47 ribu orang. 

Komentar